Batik adalah salah satu kata yang mendadak sontak
mampu meningkatkan rasa nasionalisme kita setiap kali mendengarnya.
Tentu saja, karena kita tahu bahwa Batik dibuat oleh nenek moyang kita
secara traditional, dipergunakan sebagai pakaian sehari-hari dan juga
diperdagangkan secara umum di pasar-pasar traditional di segala pelosok Indonesia. Batik dikerjakan di banyak tempat di Indonesia, walaupun jenis batik
yang terkenal dengan pola-pola uniknya terdapat di beberapa daerah
tertentu terutama di kota-kota di pulau Jawa, misalnya Solo, Yogya, Pekalongan, Madura, Cirebon
dan sebagainya. Tentu saja tidak bermaksud mengatakan bahwa kegiatan
membatik tidak ada di kota-kota yang lain. Semua tahu batik. Semua
menggunakan batik. Dan semua mencintai batik. Batik adalah budaya kita.
Sudah pasti saya juga mencintai batik. Namun, jika
ada yang bertanya apakah saya bisa membatik? Atau minimal pernah
membatik? Terus terang saya cuma pernah membacanya saja. Atau mendengar
saja caranya. Saya belum pernah dan belum bisa membatik. Itulah
sebabnya ketika saya melihat di facebook, seorang teman lama saya sibuk
belajar membatik dan mengupload kegiatannya itu, saya jadi tergugah juga
ingin belajar membatik. Benar-benar kegiatannya itu telah memotivasi
saya untuk mengenal pembuatan batik dan mencobanya sendiri.
Setelah ngobrol dengan teman saya itu, akhirnya
saya sepakat untuk ikut dengannya ke rumah Mbak Tanti, seorang guru
membatik di daerah Tanjung Barat dimana saya bisa ikut mencoba membuat
batik. Sangat menyenangkan datang ke sana. Kami belajar di teras
belakang yang dikelilingi oleh kolam ikan dan dihibur suara kucuran air
yang tumpah ke kolam dari sebuah periuk tanah. Di sana saya melihat
beberapa batik yang sudah jadi, setengah jadi, atau bahkan ada yang
masih berupa gambar pensil di atas kain putih.
Batik adalah sebuah karya seni. Dimulai dengan
menuangkan ide kita tentang design maupun pola yang kita inginkan diatas
selembar kain putih. Menutup setiap garis dan pola yang kita inginkan
itu dengan malam (lilin) yang sudah dicairkan sebelum melakukan proses
pewarnaan. Karena ini adalah kali pertama saya belajar membatik, maka
saya hanya mencoba melakukan proses penutupan design dengan malam cair
pada selembar kain kecil saja. Malam itu sendiri dilelehkan di atas
sebuah kompor menyala, lalu diangkat dan digoreskan dengan menggunakan
alat kecil yang bernama canting. Mirip proses meniban gambar pensil dengan spidol.
Pelajaran menarik dan penting yang saya dapatkan
dari guru saya kali ini adalah cara memegang canting. Tidak seperti
menggambar pada selembar kertas, dimana ujung pensil kita berada di
bawah, rupanya kita harus memegang canting sedemikian rupa dengan ujung
ke atas. Sehingga malam cair panas yang berperan sebagai tinta itu tidak
tumpah mengenai kain kita ataupun anggota tubuh kita.
Pelajaran berikutnya adalah mengambil malam cair
dari wadahnya berupa wajan kecil. Awalnya saya cenderung mengambil
malam dengan cara menyiduk sedalam mungkin dari dasar wajan dengan
asumsi bahwa tentu kwalitas malam yang saya dapatkan akan lebih baik
jika saya mengambil dari tengah. Belakangan saya justru baru mengerti,
bahwa mengambil malam dari dasar wajan justru terkadang membuat aliran
canting menjadi seret karena tertutup oleh residu lilin yang nyangkut di
mulut canting. Residu lilin ini kebanyakan berada di dasar wajan. Jadi
sebaiknya kita ambil cairan yang mengambang di bagian atas saja.
Pelajaran lainnya lagi adalah, membatiklah dengan
pelan-pelan dan jangan grasa grusu. Aliran malam yang keluar dari bibir
canting akan berjalan halus dan lancar jika kita menggoreskannya dengan
pelan, hati hati dan sepenuh perasaan kita. Jika kita buru-buru dan asal
jadi, sering meninggalkan garis yang tidak merata dan bahkan malam cair
bisa menetes di atas pola yang tidak kita inginkan. Saya mencoba
mempraktekannya. Dan untuk karya saya kali ini, penuh dengan gaya
campuran. Ada yang saya goreskan dengan pelan dan penuh perasaan dan ada
juga yang hasil dari perbuatan grasa-grusu itu. Bahkan korban tetesan
malam pada tempat yang tak terpola pun ada.
Dan rupanya jenis-jenis malam yang digunakan
memiliki titik didih, kecepatan didih, warna dan kemampuan menutupi
gambar dengan ukuran yang berbeda-beda.
Membatik adalah sebuah proses dan perjalanan alam
khayal seorang seniman. Sebuah karya seni yang memiliki petualangannya
sendiri. Setiap langkah memiliki dunia yang memungkinkan sang
penciptanya untuk memutuskan sendiri perjalanannya. Apakah ia ingin
berlari cepat atau cukup berjalan santai saja.Apakah ia ingin berhenti
sejenak, atau melakukan marathon. Apakah suasana hatinya sedang berada
di spektrum merah, ungu atau biru. Segala sesuatu mungkin saja terjadi
selama proses penciptaan batik itu.
Setelah mencanting kurang lebih sejam, akhirnya
saya selesai dengan tahap pertama itu. Proses pewarnaan akan kami
lakukan pada kesempatan berikutnya. Sungguh sebuah pengalaman yang
sangat berharga. Dan sudah pasti sangat menyenangkan. Apalagi guru saya
sangat sabar dan telaten. Sehingga proses belajar menjadi suatu moment
yang sangat membahagiakan buat saya. Saya membayangkan jika batik kecil
saya itu sudah jadi. “Saya cinta batik. Saya menggunakannya. Dan saya akan membuatnya”.
Oh, rasanya semakin cinta pada batik. Semakin cinta Indonesia!!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar